Jangan tanya, kenapa segitu banyak SDIT yang telah kita bangun, malah tidak mengajarkan bahasa Arab? Padahal syarat mutlak seseorang bisa mempelajari dan memahami syariah Islam justru ada pada bahasa Arab. Mengingat bahwa Al-Quran itu turun dalam bahasa Arab. Dan mengingat pula bahwa Rasulullah SAW tidak pernah berkata-kata kecuali dalam bahasa Arab. Sangat tidak masuk akal kalau hari ini kita teriak-teriak mau menegakkan syariah Islam, tapi kita tidak pernah peduli ketika anak-anak kita tumbuh tanpa bisa berbahasa Arab. Sungguh keterlaluan dan sangat tidak logis.
Kalau generasi terbaik yang kita persiapkan itu sudah sejak awal kita 'sunat' dan 'kebiri', dengan tidak peduli atas pelajaran bahasa Arab, maka sudah dipastikan kita inilah jagal-jagal yang membutakan mereka dari syariah Islam sejak dini. Akhirnya kita hanya bisa marah-marah dan emosi sendiri, kita tuduh orang lain bersalah karena tidak mau menerapkan syariah Islam, Padahal pada hakikatnya kita sendiri yang telah 'membunuh' syariah Islam itu sejak dini.
Kalau generasi terbaik yang kita persiapkan itu sudah sejak awal kita 'sunat' dan 'kebiri', dengan tidak peduli atas pelajaran bahasa Arab, maka sudah dipastikan kita inilah jagal-jagal yang membutakan mereka dari syariah Islam sejak dini. Akhirnya kita hanya bisa marah-marah dan emosi sendiri, kita tuduh orang lain bersalah karena tidak mau menerapkan syariah Islam, Padahal pada hakikatnya kita sendiri yang telah 'membunuh' syariah Islam itu sejak dini.
Mungkin anda pernah melihat trilogi film khayal ala Hollywood, misalnya Terminator 1, 2 dan 3. Film itu menggambar musuh-musuh di masa mendatang melalui mesin waktu datang ke zaman kita untuk membunuh calon pemimpin masa depan, Jhon Connor. Musuh-musuh yang berupa robot itu merasa kewalahan menghadapi perlawanan sang jagoan di masa mendatang, karena itu untuk membunuh sang jagoan, mereka datang ke zaman sekarang dan ingin membunuh orang tuanya.
Hayalan ala Arnold Schwarzenegger itu sebenarnya sudah terjadi sekarang ini. Kitalah yang musuh yang telah 'membunuh' generasi mendatang itu dengan tidak pernah mempersiapkan mereka untuk mengerti syariah Islam. Salah satu cara 'keji' yang tanpa sadar kita lakukan adalah membuat mereka tetap buta dengan bahasa Arab dan pelajaran syariah Islam.
Apalagi SDIT-SDIT yang kita banggakan itu pun masih asyik dengan beragam teori pendidikan ala baratnya, dan nyaris sama sekali tidak punya pengajar bertaraf ulama, yang bisa melahirkan siswa semacam Al-Imam Asy-Syafi'i yang telah hafal Al-Muwaththa' ketika lulus SD. Boro-boro hafal Al-Muwaththa', lha wong gurunya saja termasuk ummiyin, tidak bisa baca dan tulis Arab. Apalagi bicara dalam bahasa Arab. Kalau pun bisa baca, ya cuma bunyi tapi tidak paham.
Mohon maaf kepada para ikhwan yang punya SDIT atau guru pengajar, mungkin kami agak kasar, tapi mari kita merenung sejenak yuk, kita ini mau ke mana sih sebenarnya? Cintakah kita kepada syariah Islam? Kalau cinta, kenapa kok kita tidak berupaya melahirkan generasi yang mengerti syariah Islam?
Resep Tegaknya Syariah Islam
Jadi resepnya gampang, mari kita dirikan SDIT yang para pengajarnya adalah ulama, sehingga muridnya bisa lulus dengan telah mengantungi ijazah sungguhan, yakni telah membaca dan menelaah sekian puluh kitab-kitab kuning. Mari kita urus dengan rapi dan profesional majelis-majelis taklim kita, baik di masjid mau pun di kantor-kantor. Carilah ulama yang ahli syariah untuk kita belajar ilmu syariah secara tetap kepada mereka, syukur kalau bisa sambil buka kitab. Setidaknya kajian syariahnya harus lebih padat. Jangan cuma melawak melulu. Segar sih segar, tapi kalau tiap hari melawak melulu, bisa-bisa kita saingan dengan Srimulat. Semua itu mengerucut pada satu kesimpulan, tegaknya syariat Islam amat bergantung pada seberapa besar porsi ngaji syariah kita lakukan sekarang ini.
Mungkin ada baiknya kalau para ustadz yang terlanjur salah kamar, balik lagi ke masjid dan jamaah pengajiannya untuk mengajar syariah, dari pada mereka tiap hari ketemu dengan koboi-koboi politik di lembaga legislatif yang bikin rambut beruban. Serahkan saja pekerjaan itu pada orang yang ahli di bidangnya, sedangkan para ustadz ini bisa kembali menyapa jamaah pengajiannya. Sungguh semenjak para ustadz ini aktif di politik, banyak jamaah pengajian yang bagai anak ayam kehilangan induknya.
Itu sih sekedar usul, bisa diterima dan boleh saja dicuekin. Namanya juga usul, kadang terdengar usil di telinga.
Semua tulisan berjudul “Hukum Menegakkan Syariat Islam di Indonesia” baik bagian 1,2, maupun 3 dikutip dari laman ini:
http://www.rumahfiqih.com/ust/e2.php?id=1205682150