Semua sekolah di Indonesia diwajibkan untuk menyelenggarakan upacara bendera pada hari-hari tertentu. Jika ada yang coba-coba melanggar, tentu sekolah itu akan mendapat peringatan keras dari pemerintah. Berbagai bentuk sanksi akan diberlakukan kepada sekolah-sekolah yang tidak menyelenggarakan upacara bendera, mulai dari sanksi administrasi hingga pencabutan izin beroperasi alias penutupan paksa. Salahkah jika ada lembaga pendidikan yang tidak menyelenggarakan upacara bendera bagi para peserta didiknya? Bolehkah berdiri dan mengangkat tangan dalam rangka menghormati sang merah putih?
Banyak orang yang beranggapan bahwa boleh-boleh saja menghormat bendera asalkan niatnya tidak untuk menyembah atau meminta-minta kepada bendera itu. Jika anda termasuk orang yang berpikir demikian, coba kita baca fatwa ulama-ulama besar berikut ini:
“Tidak boleh bagi seorang muslim berdiri dalam rangka penghormatan kepada bendera negara mana saja atau pun lagu kebangsaan, karena hal itu termasuk bid’ah yang mungkar yang tidak ada di zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak pula di zaman Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin radhiyallahu’anhum. Hal itu juga menafikan kesempurnaan tauhid yang wajib dan mengurangi murninya pengagungan terhadap Allah Ta’ala yang satu saja, serta dapat mengantarkan kepada syirik, menyerupai orang-orang kafir, taklid kepada mereka dalam tradisi yang buruk, dan sejalan dengan mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin dan simbol-simbol kepemimpinan, padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah melarang kita menyerupai orang-orang kafir dengan sengaja atau pun tanpa sengaja meniatkan untuk menyerupai mereka.”
Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa
Ketua : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota : Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi , Syaikh Abdullah bin Ghudayan, Syaikh Abdullah bin Qu’ud
Sumber: Kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’, jilid 1 halaman 235.
Fatwa di atas adalah fatwa ulama-ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari negeri haramain; Makkah dan Madinah yang diakui dunia akan keilmuan dan ketakwaan mereka. Dari fatwa di atas kita dapat mengetahui sebab-sebab haramnya berdiri atau mengangkat tangan untuk menghormati bendera dengan lima alasan:
1. Bid’ah yang Mungkar
Bid’ah artinya mengada-ada di dalam agama yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, dan setiap bid’ah adalah kemungkaran, karena Nabi sahallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang Allah berikan hidayah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang bisa memberinya hidayah. Sesungguhnya sebenar-benarnya ucapan adalah kitab Allah Ta’ala dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu’alaihi wa sallam-, dan seburuk-buruknya perkara adalah perkara-perkara baru (dalam agama), dan setiap yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka.” (HR. An-Nasai)
Perbuatan bid’ah alias mengada-ada dalam agama mencakup dua bentuk keterkaitan dengan agama, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk kedua inilah barangkali dasar yang lebih tepat dari pendapat ulama yang mengatakan hormat bendera termasuk bid’ah, bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu ritual yang menyerupai ibadah (yang keterkaitannya tidak secara langsung dengan agama), bahkan lebih dari itu, terkadang seorang begitu khusyuknya ketika upacara bendera namun ketika ibadah kepada Allah Ta’ala dia tidak khusyuk.
Untuk dapat memahami masalah ini berikut penjelasan kaidah-kaidah ushul dalam mengenal bid’ah dari kitab Qawa’id Ma’rifatil Bida’, karya Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizani hafizhahullah yang beliau kumpulkan dari penjelasan ulama ushuliyun:
Kaidah mengenal bid’ah pertama: “Setiap amalan yang bisa mengantarkan kepada bid’ah dalam agama maka dihukumi bid’ah walau pun asalnya bukan bid’ah.”
Kaidah mengenal bid’ah pertama: “Setiap amalan yang bisa mengantarkan kepada bid’ah dalam agama maka dihukumi bid’ah walau pun asalnya bukan bid’ah.”
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Apabila muncul suatu bid’ah yang tidak bertentangan dengan syari’ah dan tidak pula pasti menyebabkan penyelisihan terhadap syari’ah, maka mayoritas ulama Salaf membencinya, dan mereka juga memperingatkan dari setiap bid’ah (maupun pengantar kepada bid’ah), meskipun hal itu boleh (karena bukan bid’ah dalam agama, baru berupa pengantar ke sana). Salaf tetap melarang sebagai penjagaan terhadap prinsip agama yaitu ittiba’ (meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).”
Kaidah mengenal bid’ah kedua: “Mewajibkan manusia melakukan suatu perbuatan (perkara duniawi seperti perdagangan dan lain-lain), dengan menjadikan hal itu seperti syari’ah yang tidak boleh ditentang atau diprotes seperti ajaran agama yang tidak bisa dilanggar adalah bid’ah.”
Al-Imam Asy-Syatibi rahimahullah menjelaskan contoh kaidah di atas:
Al-Imam Asy-Syatibi rahimahullah menjelaskan contoh kaidah di atas:
“Menetapkan pajak dalam perdagangan seolah-olah kebijakan tersebut adalah aturan agama yang harus dilaksanakan dan kewajiban yang harus ditunaikan, dilakukan terus-menerus atau pada waktu-waktu yang sudah ditentukan, dalam bentuk yang telah ditentukan, sehingga menyerupai ketentuan syari’ah yang ditetapkan dan diwajibkan atas manusia, dan dapat dikenakan sangsi bagi yang tidak mau melakukannya.”
Kaidah mengenal bid’ah ketiga: “Menyerupai orang-orang kafir dalam ciri khusus mereka, apakah itu ibadah, kebiasaan, atau pun keduanya adalah bid’ah.”
Seorang ulama besar dari mazhab Syafi’i, Al-Hafizh Adz-Dzahabi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Tindakan menyerupai orang-orang kafir dzimmi dalam perayaan ulang tahun, kamis suci (sebelum paskah dalam Nasrani) dan perayaan Nairuz (hari besar Iran yang tidak diajarkan dalam Islam) maka itu adalah bid’ah.”
Seorang ulama besar dari mazhab Syafi’i, Al-Hafizh Adz-Dzahabi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Tindakan menyerupai orang-orang kafir dzimmi dalam perayaan ulang tahun, kamis suci (sebelum paskah dalam Nasrani) dan perayaan Nairuz (hari besar Iran yang tidak diajarkan dalam Islam) maka itu adalah bid’ah.”
Kaidah mengenal bid’ah keempat: “Menyerupai orang-orang kafir dalam bid’ah mereka yang tidak diajarkan dalam agama mereka, apakah itu ibadah, kebiasaan atau pun keduanya adalah bid’ah.”
Ulama besar dari mazhab Hanbali, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya bid’ah itu sudah jelek apabila yang mengada-adakannya adalah kaum muslimin, maka bagaimana lagi jika bid’ah itu tidak pernah diajarkan oleh seorang nabi pun, melainkan bid’ah yang diada-adakan oleh orang kafir, maka menyerupai mereka dalam bid’ah itu jelas kejelekannya. Ini adalah prinsip.”
Penjelasan para ulama di atas menunjukkan bahwa perbuatan yang mubah atau urusan duniawi, seperti perayaan, seremonial, dan muamalah dapat menjadi bid’ah karena empat sebab:
Pertama: Jika perbuatan itu dapat mengantarkan kepada bid’ah maka dihukumi bid’ah, walaupun hanya berupa perkiraan, bukan sebuah kepastian.
Kedua: Urusan duniawi yang pengamalannya menyerupai amalan agama juga termasuk bid’ah.
Ketiga: Menyerupai ciri khusus orang-orang kafir.
Keempat: Menyerupai bid’ah orang-orang kafir.
Barangkali inilah alasan-alasan para ulama yang berpendapat upacara bendera termasuk bid’ah.
2. Mengurangi Kesempurnaan Tauhid dan Mengotori Murninya Pengagungan kepada Allah Ta’ala
Hakikat tauhid adalah memurnikan ibadah atau ketaatan hanya kepada Allah Ta’ala, baik ibadah zahir maupun batin. Pengagungan kepada Allah Ta’ala termasuk ibadah batin, bahkan itulah hakikat ibadah, yaitu penghambaan, pengagungan dan cinta kepada Allah Ta’ala. Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Ibadah dalam arti yang umum adalah merendahkan diri kepada Allah dengan penuh cinta dan pengagungan; menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan cara yang sesuai dengan syari’at-Nya.”
Beliau juga menjelaskan hakikat tauhid: “Tauhid adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah, yaitu beribadah hanya kepada Allah Ta’ala yang satu saja dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun; apakah dengan nabi yang diutus oleh-Nya, malaikat yang dekat dengan-Nya, ataukah dengan seorang pemimpin, raja, dan siapa pun dari makhluk-Nya. Tetapi engkau hanya mengesakan-Nya dalam ibadah dengan penuh cinta dan pengagungan, harap, dan takut.”
Demikian pula hakikat kesyirikan adalah tidak adanya pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana mestinya. Allah Jalla wa ‘Ala telah mencela orang-orang yang melakukan syirik dalam firman-Nya:
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar [39]: 67)
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim menjaga imannya dari hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan atau mengotori kemurnian iman, diantaranya dengan tidak melakukan penghormatan kepada suatu benda melebihi kadarnya.
Ulama besar dari mazhab Hanbali, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya bid’ah itu sudah jelek apabila yang mengada-adakannya adalah kaum muslimin, maka bagaimana lagi jika bid’ah itu tidak pernah diajarkan oleh seorang nabi pun, melainkan bid’ah yang diada-adakan oleh orang kafir, maka menyerupai mereka dalam bid’ah itu jelas kejelekannya. Ini adalah prinsip.”
Penjelasan para ulama di atas menunjukkan bahwa perbuatan yang mubah atau urusan duniawi, seperti perayaan, seremonial, dan muamalah dapat menjadi bid’ah karena empat sebab:
Pertama: Jika perbuatan itu dapat mengantarkan kepada bid’ah maka dihukumi bid’ah, walaupun hanya berupa perkiraan, bukan sebuah kepastian.
Kedua: Urusan duniawi yang pengamalannya menyerupai amalan agama juga termasuk bid’ah.
Ketiga: Menyerupai ciri khusus orang-orang kafir.
Keempat: Menyerupai bid’ah orang-orang kafir.
Barangkali inilah alasan-alasan para ulama yang berpendapat upacara bendera termasuk bid’ah.
2. Mengurangi Kesempurnaan Tauhid dan Mengotori Murninya Pengagungan kepada Allah Ta’ala
Hakikat tauhid adalah memurnikan ibadah atau ketaatan hanya kepada Allah Ta’ala, baik ibadah zahir maupun batin. Pengagungan kepada Allah Ta’ala termasuk ibadah batin, bahkan itulah hakikat ibadah, yaitu penghambaan, pengagungan dan cinta kepada Allah Ta’ala. Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Ibadah dalam arti yang umum adalah merendahkan diri kepada Allah dengan penuh cinta dan pengagungan; menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan cara yang sesuai dengan syari’at-Nya.”
Beliau juga menjelaskan hakikat tauhid: “Tauhid adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah, yaitu beribadah hanya kepada Allah Ta’ala yang satu saja dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun; apakah dengan nabi yang diutus oleh-Nya, malaikat yang dekat dengan-Nya, ataukah dengan seorang pemimpin, raja, dan siapa pun dari makhluk-Nya. Tetapi engkau hanya mengesakan-Nya dalam ibadah dengan penuh cinta dan pengagungan, harap, dan takut.”
Demikian pula hakikat kesyirikan adalah tidak adanya pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana mestinya. Allah Jalla wa ‘Ala telah mencela orang-orang yang melakukan syirik dalam firman-Nya:
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar [39]: 67)
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim menjaga imannya dari hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan atau mengotori kemurnian iman, diantaranya dengan tidak melakukan penghormatan kepada suatu benda melebihi kadarnya.
Bersambung…