Pada umumnya masyarakat Indonesia menganggap bahwa yang dimaksud dengan orang kafir adalah orang yang tidak mengakui adanya Allah SWT atau orang yang tidak beragama alias atheis. Sementara, orang-orang yang menganut agama lain selain Islam tidak dianggap sebagai orang kafir, karena yang dijadikan patokan seseorang dianggap kafir atau tidak adalah kemauan dia menganut suatau agama atau tidak. Benarkah seperti itu pengertian kafir? Siapa sebenarnya orang-orang kafir itu?
Kata “kafir” berasal dari kata dasar yang terdiri dari huruf kaf, fa'dan ra'. Arti dasarnya adalah "tertutup" atau "terhalang". Secara istilah, kafir berarti terhalang dari petunjuk Allah SWT. Kafir berasal dari kata “kufur” yang berarti ingkar, menolak atau menutup. Secara harfiah, kafir berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Dalam terminologi kultural, kata kafir digunakan untuk merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allah SWT.
Kata “kafir” adalah istilah yang sangat umum, istilah bagi orang yang mengingkari Allah SWT dan rasul-Nya serta ajaran yang dibawanya, mereka bisa dari kalangan Yahudi, Nasrani, Atheis, Majusi, Hindu, Budha, Konghucu dan yang lainya, yang tidak mengimani Allah SWT dan rasul-rasul-Nya serta ajarannya. Mereka semua adalah non muslim. Sebenarnya jika mereka memahami arti dan konsekuensi dari kata non muslim, sama saja mereka mendengar kata kafir secara istilah. Hanya mungkin kedengarannya lebih halus, ketimbang disebut sebagai kafir.
Sebelum Rasulullah SAW mulai mendakwahkan Islam, istilah kafir digunakan sebagai sebutan bagi para petani yang sedang menanam benih di ladang, menutup/mengubur dengan tanah, sehingga kata kafir bisa dimplikasikan menjadi "seseorang yang bersembunyi atau menutup diri".
Orang kafir adalah orang yang mengingkari Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan mengingkari Muhammad Rasulullah SAW sebagai utusan-Nya. Orang kafir bisa juga diartikan sebagai orang yang tidak mengikuti pentunjuk Allah SWT karena petunjuk tersebut terhalang darinya. Orang kafir adalah orang yang menentang dan menolak kebenaran dari Allah SWT yang disampaikan oleh rasul-Nya.
Ditinjau dari segi bahasa, kata kafir tidak selamanya berarti non-muslim, karena ada penggunaan kata kafir atau pecahan dari kata kafir seperti kufur, yang bermakna ingkar saja, tidak sampai mengeluarkan seseorang dari keislaman. Contohnya kufur nikmat, yaitu orang yang tidak pandai/mensyukuri nikmat Allah SWT, atau dalam istilah lain disebut sebagai kufrun duna kufrin (kekufuran yang tidak sampai membawa pelakunya kafir/keluar dari Islam).
Jenis-jenis Kafir Berdasarkan Makna
Merujuk pada makna bahasa dan beragam makna kafir dalam ayat al-Quran, Kafir terbagi menjadi beberapa golongan, antara lain:
1. Kafir ’inad, yaitu kafir yang mengenal Allah SWT dengan hati dan mengakui-Nya dengan lidah, tetapi tidak mau menjadikannya sebagai suatu keyakinan karena ada rasa permusuhan, dengki, dan semacamnya. Dalam al-Quran mereka digambarkan seperti orang-orang yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah, mendurhakai rasul-rasul Allah SWT, dan menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang menentang kebenaran (QS. Hud [11]: 59).
2. Kafir inkar, yaitu kafir yang mengingkari Allah SWT secara lahir dan batin, rasul-rasul-Nya serta ajaran yang dibawanya, dan hari kemudian. Mereka menolak hal-hal yang bersifat ghaib dan mengingkari eksistensi Allah SWT sebagi pencipta, pemelihara dan pengatur alam ini. Mereka seperti penganut atheisme. (QS. Al-Baqarah [2]: 212 dan An-Nahl [16]: 107).
3. Kafir kitabi, mempunyai ciri khas tersendiri dibanding dengan kafir-kafir yang lain, karena kafir kitabi ini meyakini beberapa kepercayaan pokok yang dianut Islam. Akan tetapi kepercayaan mereka tidak utuh, cacat, dan parsial. Mereka membuat diskriminasi terhadap rasul-rasul Allah dan kitab-kitab suci-Nya, terutama terhadap Nabi Muhammad dan Al-Quran. Dalam al-Quran mereka disebut sebagai ahlul kitab, mereka adalah orang-orang yahudi dan nasrani. (Lihat QS 02: 105, 109; QS 03: 64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, 199; QS 04: 153, 159, 171; QS 05: 15, 19, 59, 65, 68, 77; QS 29: 46; QS 33: 26; QS 57: 29; QS 59: 2, 11; QS 98: 1, 6)
Jenis-Jenis Kafir Berdasarkan Penggunaan
Di dalam Al-Qur'an, kata kafir dan variasinya digunakan dalam beberapa penggunaan yang berbeda:
1. Kufur at-tauhid (menolak tauhid): mereka yang menolak bahwa Allah SWT itu satu. “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.” (QS. Al-Baqarah [2] : 6)
2. Kufur al-ni`mah (mengingkari nikmat): mereka yang tidak mau bersyukur kepada Allah SWT. “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. (QS. Al-Baqarah [2] : 152)
3. Kufur at-tabarri (melepaskan diri): “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu ..." (QS: Al-Mumtahanah [60] : 4)
4. Kufur al-juhud (mengingkari sesuatu): “..maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 89).
5. Kufur at-taghtiyah (menanam/mengubur sesuatu): “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani (kuffar).” (QS. Al-Hadid [57]: 20)
Jenis-jenis Kafir Berdasarkan Perlakuan
1. Kafir Harbi, yaitu mereka yang memerangi kaum muslimin.
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir di medan perang, pancunglah batang leher mereka. Apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” (QS. Muhammad [47]: 4)
2. Kafir Dzimmi, yaitu mereka yang memberikan jizyah kepada pemimpin kaum muslimin.
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At Taubah [9]: 29)
3. Kafir Mu’ahid, yaitu mereka yang terikat perjanjian untuk jangka waktu tertentu.
“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS. Al-Anfal [8]: 58).
Sabda Rasulullah SAW,”Barangsiapa yang membunuh seorang muahid maka tidak akan mencium bau surga…” (HR. Bukhori).
4. Kafir Musta’min, yaitu mereka yang diberikan perlindungan keamanan oleh seorang muslim. “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 6)
Di dalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” disebutkan bahwa ahli dzimmah atau dzimmiyyun menurut istilah para fuqaha dinisbahkan kepada dzimmah yang berarti perjanjian dari imam atau orang-orang yang mewakilinya untuk mendapatkan keamanan baik diri maupun hartanya dengan keharusan baginya beriltizam (komitmen) dalam membayarkan jizyah dan menerapkan hukum-hukum Islam.
Seorang non muslim bisa disebut dengan kafir dzimmiy karena empat hal:
1. Akad Dzimmah, yaitu orang-orang kafir diperbolehkan menampakkan kekafiran dengan syarat memberikan jizyah dan berkomitmen dengan hukum-hukum Islam di dalam urusan duniawi. Alasan tidak diperanginya orang-orang kafir dzimmiy adalah karena adanya kemungkinan mereka masuk Islam melalui interaksi dengan kaum muslimin dan setelah merasakan berbagai kebaikan Islam. Jumhur fuqaha mensyaratkan bahwa akad ini berlangsung selamanya.
2. Karena adanya berbagai bukti
Ada tiga hal yang dapat dijadikan sebagai bukti. Pertama, menetap di Daarul Islam, karena pada dasarnya seorang non muslim yang bukan ahli dzimmah tidak diperbolehkan menetap selamanya di Daarul Islam akan tetapi mereka diperbolehkan menetap di Daarul Islam untuk waktu yang terbatas, sehingga mereka ini dinamakan Musta’min. Jumhur fuqaha dari kalangan Hanafi, Syafi’i, dan Hambali berpendapat bahwa seorang musta’min tidaklah diperbolehkan menetap di Daarul Islam kurang dari satu tahun. Jika orang itu ingin menetap di sana selama setahun penuh atau lebih maka dirinya harus memberikan jizyah sehingga dia menjadi seorang dzimmiy. Lamanya seorang non muslim tinggal di Daarul Islam menjadi bukti bahwa dirinya ridho untuk menetap selamanya dan menerima berbagai persyaratan ahli dzimmah.
Kedua, pernikahan seorang wanita dari kafir harbi dengan seorang lelaki muslim atau seorang dzimmiy dikarenakan seorang istri mengikuti suaminya.
Dan ketiga, apabila seorang musta’min membeli tanah yang terkena atasnya pajak di Daarul Islam lalu orang itu menanaminya kemudian ditetapkan atasnya pajak maka orang itu praktis menjadi seorang dzimmiy.
3. Karena dirinya terbawa (subordinat), seperti : seorang anak kecil menjadi ahli dzimmah karena terbawa orang tuanya yang ahli dzimmah atau seorang anak yang ditemukan di suatu perkampungan atau daerah gereja ahli dzimmah maka anak itu dianggap sebagai seorang dzimmiy.
4. Karena pembebasan suatu negeri. Hal ini terjadi bila kaum muslimin membebaskan negeri-negeri non muslim kemudian Imam membiarkan para penduduknya bebas dengan dzimmah (perjanjian) dan membayarkan jizyah sebagaimana dilakukan Umar bin Khottob terhadap para penduduk Iraq. (disarikan dari al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 2488 – 2495)
Dari penjelasan di atas, orang-orang kafir di Indonesia tidak dikategorikan sebagai ahlu dzimmah atau mu’ahid karena pembagian macam-macam orang kafir di atas terjadi di dalam suatu tempat yang dinamakan Daarul Islam yaitu suatu negeri yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum Islam, diperintah oleh pemerintahan Islam, serta memberikan perlindungan dan kekuatan bagi kaum muslimin yang sifat-sifat ini tidak ada di Indonesia. Orang-orang kafir di Indonesia bisa kita golongkan ke dalam kafir musta’min, karena mereka diberikan jaminan perlindungan keamanan oleh kaum muslimin di Indonesia.