Beberapa waktu yang lalu Allah Ta’ala mempertemukan saya dengan seorang penganut syi’ah. Singkat cerita, terjadilah dialog antara saya (muslim) dengan si penganut Syi’ah ini. Berikut ini dialognya..
Muslim: Rasulullah itu manhajnya apa?
Syi’ah: Manhaj Rasulullah itu sesuai dengan bunyi Al-Qur’an Surah As-Shaaffaat (37) Ayat ke-83. Dalam ayat tersebut jelas sekali disebutkan kata “Syi’ah”. Maka manhaj yang benar adalah manhaj Syi’ah, seperti manhajnya Rasulullah Muhammad SAW, manhajnya Nabi Ibrahim a.s., dan manhajnya Nabi Nuh a.s.
Muslim: Ayat itu sama sekali tidak berbicara soal manhaj Rasulullah, tetapi bicara tentang kisah Nabi Ibrahim a.s. Ayat ke-83 dalam Surah As-Shaaffaat adalah ayat yang mengawali kisah tentang Nabi Ibrahim a.s. yang menghancurkan berhala-berhala. Kata “Syi’ah” di situ tidak bisa diartikan sebagai manhaj Rasulullah, karena kata Syi’ah di situ maksudnya adalah golongan. Jadi, maksud yang benar dari ayat itu adalah “Dan di antara golongan Nuh adalah Ibrahim.” Ayat itu bukan penegasan bahwa Syi’ah adalah manhaj yang benar.
Pembicaraan kemudian berlanjut dengan pembahasan konsep Khilafah.
Syi’ah: Konsep khilafah itu salah, yang benar adalah konsep imamah, sesuai dengan Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2) Ayat ke-124, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". Berdasarkan ayat tersebut maka konsep yang benar adalah konsep imamah, bukan khilafah. Imam harus dari keturunan nabi, sementara khalifah belum tentu keturunan nabi. Imam harus orang yang suci dan dipilih oleh Allah, sementara khalifah ada sebagian yang zholim dan dipilih atau dibai’at oleh manusia.
Muslim: Ayat tersebut bukan garansi mengenai konsep imamah, tetapi jaminan dari Allah Ta’ala bahwa Nabi Ibrahim a.s. adalah teladan bagi seluruh umat manusia dan keturunannya yang beriman diangkat pula menjadi nabi. Ayat tersebut tidak menjelaskan baik secara harfiyah maupun tafsiriyah bahwa imam harus keturunan nabi, tetapi hanya menyebutkan bahwa keturunan Nabi Ibrahim a.s. yang tidak zalim dijadikan sebagai imam. Tidak ada redaksi dalam ayat tersebut yang menyatakan bahwa imam adalah orang suci yang terbebas dari dosa dan kesalahan sama sekali, tetapi Allah Ta’ala hanya menjelaskan bahwa orang yang zalim tidak akan diangkat menjadi imam atau pun nabi. Ayat tersebut bukan ayat perbandingan konsep khilafah dengan imamah. Ayat tersebut bukan kisah tentang para imam Syi’ah atau pun para khalifah, tetapi tentang Nabi Ibrahim a.s. dan keturunannya yang tidak zalim.
Syi’ah: Hadits ada yang shahih dan ada yang dhoif, mana yang benar?
Muslim: Hadits yang benar adalah hadits yang shahih, sedanngkan hadits dhoif tidak perlu diikuti.
Syi’ah: Syeikh Al Bani bilang hadits ini shohih, tapi ulama lain bilang hadits ini dhoif, mana yang benar? Kalau cuma bilang ikuti yang benar, orang Kristen juga bilang ikuti yang benar.
Muslim: Jangan ikuti orang Kristen donk, ikuti hadits yang shohih, yakni hadits yang riwayatnya sampai ke Rasulullah SAW dan para perawinya adalah orang-orang yang dapat dipercaya.
Sampai di situ saya terpaksa memutuskan pembicaraan dan segera mengakhiri dialog, karena selain sudah diajak pulang oleh teman yang lain, saya juga sudah bisa menebak kemana kira-kira arah pembicaraan si penganut Syi’ah ini dan kemana saya akan digiring.
Ada hikmah yang bisa saya ambil dari pertemuan dan dialog saya dengan penganut Syi’ah waktu itu. Sekarang saya jadi tau, orang2 Syi’ah akan berupaya menggunakan Al-Qur’an sebagai dasar argumentasi dalam berdebat dengan muslim, namun mereka menggunakan Al-Qur’an dengan terjemahan harfiah (letter lux), bukan terjemah tafsiriyah. Oleh karena itu, muslim yang tidak memahami makna tafsiriyah Al-Qur’an akan mudah digiring orang2 Syi’ah ini untuk ikut ke pemahaman ngawur mereka.
Mereka akan menggiring opini dengan mengatakan ada hadits yang shohih dan ada hadits yang dhoif mana yang benar? Ada ulama yang bilang hadits nomor sekian itu shohih tetapi ulama lain mengatakan hadits nomor sekian itu dhoif, mana yang benar.
Selanjutnya mereka akan bilang kalau khalifah setelah Abu Bakar as Shiddiq banyak yang zholim, berdasarkan surah Al-Baqarah ayat 124, maka semua khalifah dan imam dari kelompok Muawwiyah dan Yazid tidak bisa dijadikan rujukan, semua hadits yang berasal dari kelompok mereka tertolak dan tidak layak dipercaya.
Kalau kita bilang bahwa hadits itu riwayatnya harus sampai ke Rasulullah, maka di situlah mereka akan mengeluarkan pemahaman sesat mereka yakni mengingkari Aisyah r.a. dan para sahabat Rasul yang berkata tentang perilaku dan perkataan Rasulullah SAW, dan mereka mengajak muslim untuk mengikuti imam-imam mereka saja karena imam mereka dianggap maksum atau bersih dari dosa.
Intinya, mereka akan menggiring kita sehingga kita percaya bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat Rasulullah tidak bisa dipercaya. Hanya hadits dari imam-imam Syi’ah saja yang layak untuk dipercaya menurut mereka.
Dari pertama ketemu aja saya udah ga sreg ngobrol ama nih syi’ah, berani2nya melintir tafsir ayat Al-Qur’an untuk menipu orang awam supaya yakin bahwa syi’ah itu benar.
Waspadalah dengan kelicikan kaum syi'ah ini.