Ikatan fanatisme kebangsaan muncul tatkala sekelompok orang pengagum nasionalisme berpikir sempit, lalu menjadikan kecintaan terhadap bangsanya sebagai dasar untuk mengikatkan dirinya dan bertujuan untuk membuktikan bahwa bangsanya lebih superior dibanding bangsa lain. Ikatan ini sangat lemah, karena didasarkan atas kesamaan perasaan bukan pemikiran, dan pasti akan menimbulkan pertentangan dan permusuhan dari bangsa lain yang juga merasa lebih superior, dan ikatan ini akan hilang begitu berbenturan dengan kepentingan dunia.
Dalam Islam, segala sesuatu termasuk ikatan antarmanusia haruslah berdasarkan Allah dan Rasul-Nya, Kitabullah dan Sunnah, dan ikatan penyatu antarmanusia yang paling pas adalah ukhuwah Islam, karena kemunculannya dari aqidah, menyatukan orang-orang yang beriman sekaligus memberikan perlindungan dan keamanan bagi yang tidak memeluk aqidah Islam. Dalam bentuk praktisnya, seringkali ukhuwah yang muncul atas dasar aqidah Islam ini secara penampakan terlihat sama dengan nasionalisme bagi yang kurang jeli. Misalnya sikap menolak dan melawan penjajahan, ini sikap yang sama yang muncul baik oleh ukhuwah maupun nasionalisme, namun keduanya sangat berbeda dari segi tataran niat, dan tentu berbeda caranya.
Begini contoh mudahnya. Negara Amerika Serikat (AS) tentu menanamkan nasionalisme pada warga negaranya. Oleh karena itu, ketika AS menyerang Vietnam dan Irak, warganya mendaftar menjadi tentara sebab nasionalisme, mereka mencintai tanah lahirnya karena nasionalisme. Berbeda dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia yang nyata-nyata menolak penjajahan yang dilakukan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin sebab Islam menolaknya, ruh mereka digelorakan oleh Islam, takbir menjadi teriakannya dan jihad menjadi resolusinya. Islam menjadi jiwa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kita mencintai Indonesia karena Islam.
Jadi, AS menanamkan nasionalisme dan patriotisme kepada warganya jelas bukan tersebab dan bersumber dari ajaran Islam, justru karena mereka tidak punya pilihan lain untuk mengikat warganya kecuali persatuan karena nasionalisme. Seorang yang bukan muslim bisa saja menjadi seorang yang nasionalis, seorang muslim juga bisa saja seorang nasionalis. Tapi ukhuwah Islam, itu hanya seorang muslim yang bisa.
Ukhuwah itu ikatan khas yang bersumber dari aqidah Islam. Sederhananya, ukhuwah Islam berbeda dengan nasionalisme. Sebab berbeda dalam tataran asas, juga berbeda dalam tataran cara. Bila kita masih ngotot dengan nasionalisme, lalu bagaimana kita memandang Malaysia, Palestina, Turki, dan negeri-negeri muslim yang lainnya? Dengan pandangan nasionalisme atau dengan pandangan ukhuwah?
Bila dengan pandangan nasionalisme, maka bukan urusan kita membantu Palestina, adalah urusan kita bila Malaysia mengklaim budaya dan wilayah Indonesia. Namun dalam pandangan ukhuwah, mereka adalah saudara yang harus dibela, dipersatukan, satu perjuangan, dan satu tumpah darah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur orang-orang yang menomorsatukan nasionalismenya. Kisahnya diabadikan dalam hadits berikut:
“'Amru Jabir bin 'Abdullah berkata; "Kami pernah menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu peperangan. Tiba-tiba seorang sahabat dari kaum Muhajirin mendorong punggung seorang sahabat dari kaum Anshar. LaIu sahabat Anshar itu berseru; 'Hai orang-orang Anshar kemarilah! ' Kemudian sahabat Muhajirin itu berseru pula; 'Hai orang-orang Muhajirin, kemarilah! ' Mendengar seruan-seruan seperti itu, Rasulullah pun berkata: 'Mengapa kalian masih menggunakan cara-cara panggilan jahiliah? ' Para sahabat berkata; 'Ya Rasulullah, tadi ada seorang sahabat dari kaum Muhajirin mendorong punggung seorang sahabat dari kaum Anshar.' Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Tinggalkanlah panggilan dengan cara-cara jahiliah, karena yang demikian itu akan menimbulkan efek yang buruk.''” (HR. Muslim No.4682)
Nasionalisme dalam ranah sejarah telah terbukti mampu memecah belah persatuan Islam dan mengakibatkan perseteruan dan permusuhan di antara kaum muslimin yang tadinya disatukan dengan ukhuwah Islam. Dan itulah faktanya ketika kaum-kaum Arab disatukan dengan ikatan nasionalisme lalu memisahkan diri dengan Khilafah Utsmani, begitu pula puluhan negeri-negeri muslim yang lain yang diberikan kemerdekaan berdasar nasionalisme lalu memisahkan diri mereka dari yang lainnya, dan pada akhirnya sebagai pukulan telak, Republik Turki juga berdiri berdasar nasionalisme sekuler menggantikan Khilafah Islam. Tidak begitu dengan ukhuwah.
Sejak awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatukan dua suku besar, Aus dan Khazraj, yang berseteru dengan ukhuwah yang bersumber dari aqidah. Bila Tuhan kita Allah, maka kita bersaudara. Selanjutnya ikatan ini menjadi pemersatu seluruh Hijaz dan akhirnya seluruh Jazirah. Pada gilirannya ikatan inilah yang mempersatukan Afrika, Asia, Eropa, India, Syam, dan Nusantara dalam naungan Khilafah Islam. Ikatan ini yang menjadikan seluruh manusia bersaudara dan mengamankan dunia, memanusiakan manusia dan menghilangkan permusuhan di antara mereka.
Islam adalah ikatan dari Allah. Allah Ta'ala berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (TQS. Ali Imran [3]: 103)
Jadi, bersatunya kaum muslimin itu karena menaati Allah, karena berpegang pada tali Allah yaitu Islam, yaitu Kitabullah dan Sunnah, bukan karena ikatan-ikatan lemah selainnya. Ukhuwah ini ikatan yang bersumber dari aqidah, ikatan dunia akhirat. Perpecahan umat Islam adalah sesuatu yang tercela dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (TQS. Ali Imran [3]:104)
Dan sebaliknya, Islam mengajarkan agar umat Islam bersatu padu. Perintah untuk bersatu ini ditujukan kepada setiap muslim di seluruh dunia, tidak hanya antarumat Islam di satu negara saja. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (TQS. Ali Imran [3]: 102-103)
Dalam ayat di atas, jelas sekali bahwa perintah untuk bersatu ditujukan untuk setiap muslim. Bahkan, perpecahan di antara umat Islam adalah sumber malapetaka dan bencana. Perselisihan antar umat Islam baik dalam satu negara atau pun berbeda negara adalah sumber kebinasaan. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kalian berselisih! Sesungguhnya kaum sebelum kalian telah berselisih lalu mereka binasa.” (HR. Bukhari No. 2233 dan 3217)
Seorang muslim mempersembahkan cintanya yang paling besar dan yang paling tulus kepada Allah Ta’ala. Cinta ini tidak boleh pupus oleh cinta lain. Cinta kepada Allah tidak boleh ditenggelamkan oleh cinta seseorang kepada keluarganya, bahkan kepada kedua orang tuanya. Konsekuensinya, siapapun yang mencintai Allah Ta’ala, berhak untuk kita cintai. Sebaliknya, siapa pun yang mendurhakai Allah Ta’ala, layak untuk kita benci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Orang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi sesuatu karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, telah sempurna imannya.” (HR. Abu Daud No. 4061 atau 4681, di-shahih-kan Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud)
Rasa cinta kepada Allah inilah yang mengikat setiap muslim dalam lingkar persaudaraan yang mulia. Allah Ta’ala berfirman:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (TQS. Al-Hujurat [49]: 10)
Seorang muslim yang teguh dengan Islam tentu akan banyak penentang dari kelompok orang-orang pencinta nasionalisme, karena muslim yang benar akan dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan negara, pemecah belah persatuan bangsa yang multikultur terdiri dari berbagai agama, ras, dan suku. Jumlah pengikut paham nasionalisme tentu jauh lebih banyak daripada pengikut Islam sejati.
Muslim sejati sangat sedikit jumlahnya. Meski demikian, tetaplah teguh di jalan Allah, karena sejak 1.400 tahun yang lalu Allah sudah mendeskripsikan kondisi yang demikian. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (TQS. An-Nahl [16]:92)
Jadi, adanya Islam dan nasionalisme adalah kondisi yang diciptakan Allah Ta’ala untuk menguji keimanan seorang muslim, apakah dia teguh dengan Islam-nya atau justru tertipu dengan paham nasionalisme sempit. Dan di hari kiamat nanti Allah Ta’ala akan menjelaskan mana yang benar dan mana yang sesat.
Semoga Allah Ta’ala meneguhkan hati dan iman kita dalam Islam.
Sejak awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatukan dua suku besar, Aus dan Khazraj, yang berseteru dengan ukhuwah yang bersumber dari aqidah. Bila Tuhan kita Allah, maka kita bersaudara. Selanjutnya ikatan ini menjadi pemersatu seluruh Hijaz dan akhirnya seluruh Jazirah. Pada gilirannya ikatan inilah yang mempersatukan Afrika, Asia, Eropa, India, Syam, dan Nusantara dalam naungan Khilafah Islam. Ikatan ini yang menjadikan seluruh manusia bersaudara dan mengamankan dunia, memanusiakan manusia dan menghilangkan permusuhan di antara mereka.
Islam adalah ikatan dari Allah. Allah Ta'ala berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (TQS. Ali Imran [3]: 103)
Jadi, bersatunya kaum muslimin itu karena menaati Allah, karena berpegang pada tali Allah yaitu Islam, yaitu Kitabullah dan Sunnah, bukan karena ikatan-ikatan lemah selainnya. Ukhuwah ini ikatan yang bersumber dari aqidah, ikatan dunia akhirat. Perpecahan umat Islam adalah sesuatu yang tercela dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (TQS. Ali Imran [3]:104)
Dan sebaliknya, Islam mengajarkan agar umat Islam bersatu padu. Perintah untuk bersatu ini ditujukan kepada setiap muslim di seluruh dunia, tidak hanya antarumat Islam di satu negara saja. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (TQS. Ali Imran [3]: 102-103)
Dalam ayat di atas, jelas sekali bahwa perintah untuk bersatu ditujukan untuk setiap muslim. Bahkan, perpecahan di antara umat Islam adalah sumber malapetaka dan bencana. Perselisihan antar umat Islam baik dalam satu negara atau pun berbeda negara adalah sumber kebinasaan. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kalian berselisih! Sesungguhnya kaum sebelum kalian telah berselisih lalu mereka binasa.” (HR. Bukhari No. 2233 dan 3217)
Seorang muslim mempersembahkan cintanya yang paling besar dan yang paling tulus kepada Allah Ta’ala. Cinta ini tidak boleh pupus oleh cinta lain. Cinta kepada Allah tidak boleh ditenggelamkan oleh cinta seseorang kepada keluarganya, bahkan kepada kedua orang tuanya. Konsekuensinya, siapapun yang mencintai Allah Ta’ala, berhak untuk kita cintai. Sebaliknya, siapa pun yang mendurhakai Allah Ta’ala, layak untuk kita benci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Orang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi sesuatu karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, telah sempurna imannya.” (HR. Abu Daud No. 4061 atau 4681, di-shahih-kan Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud)
Rasa cinta kepada Allah inilah yang mengikat setiap muslim dalam lingkar persaudaraan yang mulia. Allah Ta’ala berfirman:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (TQS. Al-Hujurat [49]: 10)
Seorang muslim yang teguh dengan Islam tentu akan banyak penentang dari kelompok orang-orang pencinta nasionalisme, karena muslim yang benar akan dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan negara, pemecah belah persatuan bangsa yang multikultur terdiri dari berbagai agama, ras, dan suku. Jumlah pengikut paham nasionalisme tentu jauh lebih banyak daripada pengikut Islam sejati.
Muslim sejati sangat sedikit jumlahnya. Meski demikian, tetaplah teguh di jalan Allah, karena sejak 1.400 tahun yang lalu Allah sudah mendeskripsikan kondisi yang demikian. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (TQS. An-Nahl [16]:92)
Jadi, adanya Islam dan nasionalisme adalah kondisi yang diciptakan Allah Ta’ala untuk menguji keimanan seorang muslim, apakah dia teguh dengan Islam-nya atau justru tertipu dengan paham nasionalisme sempit. Dan di hari kiamat nanti Allah Ta’ala akan menjelaskan mana yang benar dan mana yang sesat.
Semoga Allah Ta’ala meneguhkan hati dan iman kita dalam Islam.