10 pembatal keislaman telah kita ketahui pada tulisan sebelumnya. Jangan sampai keislaman kita batal hanya karena hal-hal sepele. Jangan sampai pula kita melanjutkan tradisi atau budaya tertentu yang sebenarnya bisa membatalkan keislaman kita. Setelah kita mengetahui tentang pembatal keislaman apakah kemudian kita boleh mengkafirkan orang lain secara secara sembarangan? Ada baiknya kita simak pendapat seorang ulama berikut ini,
‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alusy Syaikh ketika memulai Syarah Nawaaqidhil Islaam mengatakan, “Setiap muslim harus mengetahui bahwa membicarakan pembatal-pembatal keislaman dan hal-hal yang menyebabkan kufur dan kesesatan, termasuk dalam perkara-perkara yang besar dan penting yang harus dijalani sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Seorang muslim tidak boleh berbicara tentang takfir (mengkafirkan orang lain) dengan mengikuti hawa nafsu dan syahwat, karena bahayanya yang sangat besar. Seorang muslim tidak boleh dikafirkan dan dihukumi sebagai kafir kecuali sudah ditegakkan dalil syar’i dari Al-Qur-an dan As-Sunnah, sebab jika tidak demikian semua orang akan mudah mengkafirkan orang lain, “si fulan kafir”, “si fulan dan fulan sudah kafir”, dan memvonis orang lain dengan status dengan kafir atau fasiq dengan mengikuti hawa nafsu dan apa yang diinginkan oleh hatinya. Sesungguhnya perkara yang demikian termasuk perkara yang diharamkan. Allah Ta’ala berfirman:
“Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (TQS. Al-Hujuraat [49]: 8)
Dengan demikian, wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk berhati-hati, tidak boleh melafazkan ucapan, menuduh, memvonis, menjustifikasi seseorang dengan kafir atau fasiq kecuali telah ada dalilnya dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Sesungguhnya perkara takfir (menghukumi seseorang sebagai kafir) dan tafsiq (menghukumi seseorang sebagai fasiq) telah banyak membuat orang tergelincir dan mengikuti pemahaman yang sesat.
Ada sebagian hamba Allah yang dengan mudahnya mengkafirkan kaum muslimin hanya dengan suatu perbuatan dosa atau kesalahan yang mereka lakukan, pemahaman takfir yang serampangan membuat mereka sesat dan keluar dari jalan yang lurus. (Lihat at-Tabshiir bi Qawaa-idit Takfiir hal. 42-44 karya Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi)
Imam Asy-Syaukani (Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani, hidup tahun 1173-1250 H) rahimahullah berkata:
“Menghukumi seorang muslim keluar dari agama Islam dan masuk dalam kekufuran tidak layak dilakukan oleh seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, melainkan dengan bukti dan keterangan yang sangat jelas -lebih jelas daripada terangnya sinar matahari di siang hari-, karena sesungguhnya telah ada hadits-hadits yang shahih yang diriwayatkan dari beberapa sahabat, bahwa apabila seseorang berkata kepada saudaranya: ‘Wahai kafir,’ maka (ucapan itu) akan kembali kepada salah seorang dari keduanya.
Pada lafazh lain dalam Shahiihul Bukhari dan Shahiih Muslim dan selain keduanya disebutkan, ‘Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekufuran, atau berkata musuh Allah padahal ia tidak demikian maka akan kembali kepadanya.’ Hadits-hadits tersebut menunjukkan tentang besarnya ancaman dan nasihat agar kita tidak terburu-buru dalam masalah kafir mengkafirkan.” (Lihat Sailul Jarraar al-Mutadaffiq ‘alaa Hadaa-iqil Az-haar IV/578)
Pembatal-pembatal keislaman yang telah disebutkan di atas adalah hukum yang bersifat umum. Setiap orang tidak boleh tergesa-gesa atau terburu-buru dalam menetapkan bahwa orang yang melakukannya langsung keluar dari Islam. Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya pengkafiran secara umum sama dengan ancaman secara umum. Wajib bagi kita untuk berpegang kepada kemutlakan dan keumumannya. Adapun hukum kepada orang tertentu bahwa ia kafir atau dia masuk neraka, maka harus diketahui dalil yang jelas atas orang tersebut, karena dalam menghukumi seseorang harus terpenuhi dahulu syarat-syaratnya serta tidak adanya penghalang.” (Lihat Majmuu’ Fataawaa XII/498 karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa syarat-syarat seseorang dapat dihukumi sebagai kafir adalah:
(1) Mengetahui dengan jelas,
(2) Dilakukan dengan sengaja, dan
(3) Tidak ada paksaan.
Sedangkan intifaa-ul mawaani’ (penghalang-penghalang yang menjadikan seseorang dihukumi kafir) yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas:
(1) Tidak mengetahui,
(2) tidak disengaja, dan
(3) karena dipaksa.
(Lihat Majmuu’ Fataawaa (XII/498), Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-‘Ilmiy-yah fii Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah hal. 28-35, cet. II, th. 1424 H dan at-Tab-shiir bi Qawaa-idit Takfiir hal. 42-44)
Artinya, kalau seseorang itu tidak tahu, tidak disengaja, dan dipaksa melakukan pembatal keislaman, maka orang itu tidak boleh dikafirkan.
“Barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 217)
Jadi, waspadalah, jangan sampai kita menjadi kafir karena Islam kita batal dan jangan pula kita sembarangan menuduh atau memvonis orang lain sebagai kafir.