Hukum Suami menjilati Farji Istrinya
Hukum Suami menjilati Farji Istrinya - Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah pada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, famili serta para sahabatnya.
Banyaknya tanggapan terhadap tulisan terdahulu, "Bolehkah seseorang Suami Mencium Farji Istrinya?" maka kami terdorong buat memberikan informasi yg lebih kentara terhadap tema seputar itu yg dinukil asal fatwa ulama.
Sesungguhnya aktivitas suami istri menggunakan cara yang boleh jadi diklaim aneh oleh sebagian orang ini menjadi pertanyaan banyak pasangan muslim. Boleh jadi sebagian pasangan merasa nikmat, lebih semangat, serta lebih bergairah dalam melakukan pemenuhan kebutuhan biologis ini. Tetapi boleh jadi sebagian yg lain menduga buruk serta menjijikkan. Sebagai akibatnya tidak layak dilakukan sang orang muslim. Akahirnya hal ini menyebabkan pertanda tanya wacana hukum bolehnya?.
Sebenarnya, telah banyak fakta serta jawaban ulama terhadap dilema hubungan suami istri ini. Di ringkasnya, diakui bahwa sebagian orang merasa jijik serta menganggap buruk bentuk cumbu rayu semacam ini. Sebagai akibatnya paling utama adalah menjauhi dan menghindarinya. Namun bersamaan hal itu, mereka tidak mampu mengharamkan menggunakan tergas. Karena tidak ada ketegasan asal nash syar'i yang mengharamkannya. Tetapi Bila memang terbukti itu berbahaya, maka jenis foreplay yg mampu mengakibatkan penyakit dan bahaya diharamkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "dan dia mengharamkan atas kalian yg buruk -buruk ." (QS. Al-A'raf: 157)
Selanjutnya kami akan suguhkan jawaban galat seorang ulama yg mendapatkan pertanyaan serupa, yaitu Syaikh Khalid Abdul Mun'im al-Rifa'i. Kami menilai jawaban beliau terhadap duduk perkara tadi relatif kentara menggunakan argument fundamental pada mejawab pertanyaan tadi. Berikut adalah kami kami terjemahkan berasal fatwa dia, yang judul aslinya: حكم لحس الرجل لفرج زوجته والعكس "hukum suami menjilat kemaluan istrinya serta sebaliknya".
Soal: Apa aturan membangkitkan syahwat/libido istri dengan cara menjilat farjinya dengan pengecap suaminya, begitu juga terhadap sang suami? Jazakumullah Khairan.
Jawab: Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam atas Rasulullah, pula pada famili dan para sahabatnya. Adapun berikutnya:
Sesungguhnya asal dalam korelasi suami istri merupakan mubah, kecuali apa yg disebutkan larangannya oleh nash: berupa mendatangi istri pada dubur (anus)-nya, menggaulinya ketika haid dan nifas, ketika istri menjalankan puasa fardhu, atau saat berihram haji atau umrah.
Adapun yg disebutkan dalam pertanyaan berupa keliru satu pasangan menjilati kemaluan pasangannya, serta praktek pada bersenang-suka yg sudah disebutkan dalam pertanyaan, maka itu tidak apa-apa sesuai dalil-dalil berikut ini:
1. Itu termasuk asal keumuman bersenang-suka yg dimubahkan.
2. Bila coitus dibolehkan yang adalah puncak bersenggama (bersenang-suka ), maka yang dibawah itu jauh lebih boleh.
3. Karena masing-masing pasangan boleh menikmati anggota badan pasangannya dengan menyentuh dan melihat, kecuali pengecualian yang sudah disebutkan oleh syariat sebagaimana yang sudah kami sebutkan pada atas.
4. Firman Allah Ta'ala,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
"Istri-istrimu ialah (mirip) tanah tempat engkau bercocok-tanam, maka datangilah tanah kawasan bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Serta kerjakanlah (amal yg baik) buat dirimu, serta bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwa engkau kelak akan menemui-Nya. Dan berilah informasi gembira orang-orang yg beriman." (QS. Al-Baqarah: 223)
Ibnu Abidin al-Hanafi berkata pada Radd al-Mukhtar: Abu Yusuf pernah bertanya pada Abu Hanifah tentang seseorang laki-laki yg membelai farji istrinya serta oleh istri membelai kemaluan suaminya buat membangkitkan syahwatnya, apakah berdasarkan Anda itu tidak boleh? Dia menjawab, "tidak, saya berharap itu pahalanya besar ."
Al-Qadhi Ibnul Arabi al-Maliki mengatakan, "manusia telah tidak selaras pendapat wacana bolehnya seseorang suami melihat farji (kemaluan) istrinya atas 2 pendapat: salah satunya,membolehkan, karena Bila beliau dibolehkan menikmati (istrinya dengan jima') maka melihat itu lebih layak (bolehnya). . . . . Keliru seorang ulama kami, Asbagh (Ulama akbar Madhab Maliki pada Mesir) mengatakan: Boleh baginya (suami) untuk menjilati –kemaluan istrinya- dengan lidahnya."
dalam Mawahib Al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil disebutkan, "Ditanyakan pada Ashbagh; Sesungguhnya suatu kaum menyebutkan kemakruhannya. Kemudian dia menjawab: orang yang memakruhkannya, dia hanya memakruhkan berasal sisi kesehatan (medis), bukan berdasarkan ilmu (dalil). Itu tidak apa-apa, tidak dimakruhkan. Diriwayatkan asal Malik, beliau pernah mengatakan: tidak apa-apa melihat farji (kemaluan) saat berjima'. Pada satu riwayat terdapat tambahan, "dan ia menjilatinya menggunakan lidahnya."
Al-Fannani al-Syafi'i berkata: "seseorang suami boleh apa saja setiap melakukan hubungan menggunakan istrinya selain lubang duburnya, bahkan menghisap clitorisnya.
Al-Mardawi al-Hambali mengatakan pada al-Inshaf: Al-Qadhi berkata dalam al-Jami': "Boleh mencium farji (kemaluan) istri sebelum jima' dan memakruhkannya sesudahnya . . Istri pula boleh memegang serta menciumnya dengan syahwat. Ini dikuatkan dalam buku al-Ri'ayah, diikuti dalam al-Furu', dan diperjelas oleh Ibnu 'Aqil.
Tetapi Jika terbukti jelas cara bercumbu semacam itu menyebabkan penyakit serta membahayakan pelakunya, maka waktu itu ia harus meninggalkannya sesuai sabda nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "tidak boleh (melakukan sesuatu) yg membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain." (HR. Ibnu Majah pada sunannya)
Begitu juga jika galat seseorang pasangan merasa tersakiti (tidak nyaman) sebab perbuatan tadi serta membencinya: maka harus atas pelaku (suami)-nya buat menghentikannya. Hal ini sesuai firman Allah Ta'ala:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"serta bergaullah dengan mereka secara patut." (QS. Al-Nisa': 19)
pada hal ini harus diperhatikan tujuan dasar dari korelasi suami istri, yakni permanen dan kontinuitasnya. Berasal berasal akad nikah merupakan dibangun pada atas kelanggengan. Allah Ta'ala sudah meliput akad ini menggunakan beberapa peraturan buat menjaga kelestariannya serta menguatkan orang yg menjalaninya sinkron menggunakan ketentuan syariat bukan dengan sesuatu yang menyelisihinya. Masuk di dalamnya solusi berafiliasi antar keduanya.